Senin, 02 Juni 2008

Degradasi Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia

Persatuan Pergerakan Nasional
Satu abad lalu para pendahulu bangsa Indonesia menciptakan sejarah baru pergerakan nasional Indonesia. Latar belakang gerakan gerakan pemuda 100 lalu adalah politik tangan besi kolonialisme Hindia-Belanda terhadap pergerakan kemerdekaan Indonesia, juga ditandai oleh krisis ekonomi yang memberatkan penghidupan rakyat (Muhibbuddin: 2007). Diawali dengan pendirian organisasi Budi Utomo oleh mahasiswa-mahasiswa sekolah tinggi kedokteran (STOVIA) pada tahun 1908, kemudian diikuti organisasi pergerakan lain dengan berbagai latar belakang ideologi untuk satu tujuan yaitu kemerdekaan Indonesia.
Organisasi-organisasi pergerakan nasional saat itu memberikan kontribusi besar bagi perjuangan bangsa Indonesia terutama dalam perjuangan intelektual dan membangkitkan rasa persatuan sebagai satu bangsa yang mempunyai persamaan nasib sebagai bangsa terjajah. Perjuangan bangsa Indonesia mencapai puncaknya saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh duet proklamator Sukarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945.
Konflik Kepentingan
Pasca kemerdekaan, semangat persatuan Indonesia mulai luntur akibat berbagai konflik kepentingan. Terbukti pada kurun waktu 1950 – 1960, Republik Indonesia telah mengalami pergantian kabinet sebanyak 7 kali karena kabinet-kabinet pada dasawarsa 50-an tidak mampu melaksanakan program kerja pemerintah sebagai akibat pertentangan antar-golongan dalam parlemen.
Kondisi ketidaksinkronan antar elemen masyarakat semakin menguat di era reformasi terutama sejak pemberlakuan sistem pemilihan langsung mulai pemilihan presiden hingga kepala daerah tingkat kabupaten/kota. Sistem pemilihan langsung yang diberlakukan sejak tahun 2004 telah menimbulkan gejolak di beberapa kota dan yang paling aktual adalah kerusuhan pasca pemilihan Gubenur Sulawesi Selatan karena dipicu dugaan kecurangan oleh pasangan calon pemenang Pilgub Sulawesi Selatan (kompas : 2007) hingga menimbulkan bentrok antar pendukung cagub yang melibatkan banyak orang.
Tidak dapat dibantah bahwa pemilihan langsung sarat muatan kapitalisme; karena untuk memperoleh suara lebih besar dalam sebuah pemungutan suara, maka diperlukan biaya yang lebih besar (Guritno: 1999). Biaya kampanye besar tentu akan memudahkan pasangan calon melakukan manuver untuk menggalang dukungan dan mobilisasi massa.
Biaya kampanye calon gubenur, walikota/bupati bahkan presiden tidak mungkin hanya berasal dari partai pendukung kontestan, para pemodal juga ikut berperan dalam menyokong dana kampanye dengan harapan kebijakan calon yang kelak terpilih menjadi pemimpin, berpihak pada kaum pemodal. Dukungan dana pemilihan langsung juga berasal dari luar negeri sebagaimana terungkap pada medio 2007 bahwa semua capres pada pemilu 2004 mendapat dukungan dana dari pihak asing, sehingga dapat memunculkan sebuah teori konspirasi bahwa pemilihan langsung merupakan cara efektif untuk memecah-belah persatuan bangsa Indonesia.
Kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang tak kunjung membaik menjadi senjata ampuh kapitalis untuk memecah belah persatuan Indonesia. Masyarakat Indonesia sekarang belum terbebas dari kemiskinan sehingga diprovokasi dengan rayuan sejumlah uang untuk bermusuhan dengan kelompok masyarakat lain.
Budaya Kekerasan dan Individualisme
Degradasi semangat persatuan dan kesatuan di negara Indonesia tercinta seolah merupakan hal yang wajar dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat di tanah air. Dampak-dampak menipisnya rasa persatuan dapat kita rasakan tiap hari karena pengaruh media massa yang sering menggunakan kebebasannya secara berlebihan (Achmad: 2001). Sehingga kita dengan mudah menyaksikan, dan mendengar pertikaian antar warga masyarakat dari berbagai media massa mulai kasus perebutan kepemilikan tanah, hak pengasuhan anak, hingga perebutan hak waris. Informasi-informasi berisi konflik tersebut dapat diperoleh dengan cara sederhana yaitu tinggal menyalakan televisi lalu duduk dan siap dinikmati kapanpun selama kita mau menyalakan televisi.
Bentuk-bentuk tayangan bertema pertikaian dapat disaksikan di berbagai infotainment sejak pagi hari pukul 07.30 sampai dengan 09.00, dan pukul 16.00 – 18.30 di berbagai stasiun televisi atau sinetron-sinetron yang diputar pada pukul 19.00 – 22.00. Perlu kita ketahui bahwa antara pukul 16.00 – 18.00 dan pukul 19.00 – 22.00 adalah waktu anak-anak bersantai bahkan belajar di rumah, maka semakin besar peluang anak-anak sebagai generasi penerus belajar hal-hal buruk yaitu konflik, pertikaian, pertengkaran dan kekerasan yang merusak pola pikir mereka, sementara bagi generasi tua maupun muda kurang lebih memberi pengaruh sama yaitu mengajarkan kekerasan sebagai satu-satunya cara menyelesaikan masalah.
Penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan memang bukan cara bangsa Indonesia dalam menghadapai persoalan. Sebaliknya, bangsa Indonesia mengutamakan cara-cara kekeluargaan dalam mencari solusi. Dari tata-pemerintahan terendah yaitu Rukun Tetangga (RT) sering dilakukan musyawarah untuk menyelesaikan persoalan warga bahkan apabila ada salah satu warga yang memerlukan bantuan, warga yang lain secara bergotong-royong membantu. Tradisi gotong-royong juga dikenal di kalangan elit bangsa Indonesia zaman dahulu ketika negara ini baru terbentuk, salah satu hasilnya adalah UUD 1945 yang dicetuskan oleh PPKI lebih dari setengah abad lalu.
Sifat gotong-royong sedikit demi sedikit lenyap dari dalam hati bangsa Indonesia. Beberapa hal menjadi tanda lenyapnya sifat gotong-royong dari bangsa Indonesia adalah pemilihan presiden langsung bahkan wacana calon independen sebagai bukti penguatan rasa individualisme bangsa Indonesia yang semakin tajam.
Apatisme Sosial
Penguatan semangat individualisme bepengaruh pada pola pergaulan di dalam masyarakat Indonesia. Dari kalangan pengusaha, birokrat, maupun masyarakat pada umumnya terkena dampak penguatan individualism sehingga muncul fenomena yang disebut apatisme social. Apatisme social merupakan salah satu gejala ketidakbersatuan (disintegerasi) yang ditandai ketidakpedulian terhadap golongan masyarakat lain. Penyebab utama apatisme sosial adalah faktor ekonomi yaitu ketimpangan ekonomi yang terjadi sekarang menjadi faktor utama terjadinya gesekan antar-masyarakat di Indonesia (Juwono Sudharsono: 2007).
Ketimpangan ekonomi, tidak seharusya terjadi apabila sebagian bangsa Indonesia yang merasa mampu secara ekonomi menahan diri untuk tidak memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Permasalahan yang terjadi justru sekelompok orang yang telah mendapatkan kemapanan secara ekonomi ingin lebih memakmurkan diri dengan berbagai dalih, misalnya pembagian uang tunjangan anggota DPR awal tahun 2008 yang seharusnya dana tersebut untuk mengatasi kenaikan harga bahan pokok terutama kedelai.
Penanganan bencana alam yang melanda sebagian wilayah Indonesia dirasa buruk dalam segi penanganan oleh pemerintah. Contohnya di Kabupaten Grobogan pada saat musibah banjir di penghujung 2007. Berdasarkan hasil wawancara pemerintah hanya membagikan 1 bungkus mi instan setiap hari pada korban banjir akibat meluapnya sungai Kali Lusi sementara dari hasil pengamatan, sawah-sawah milik warga sebagian besar rusak karena musibah banjir. Disisi lain tim sukses dari calon-calon gubenur Jawa Tengah tidak ada yang membantu setidaknya untuk merebut dukungan warga sekitar.
Kembali Pada Jatidiri Bangsa
Sekali lagi, sejarah telah membuktikan bahwa penjajah hanya dapat diusir dengan persatuan dan kesatuan. Berbagai cara untuk dapat mempererat persatuan Nasional yaitu dimulai dari pribadi kita dengan menahan diri untuk tidak terpancing isu-isu yang memecah-belah persatuan nasional dan mengembangkan sikap toleransi antar golongan. Karena segala persolan akan dapat terpecahkan apabila ditangani dengan tenang dan gotong-royong serta melepaskan ego golongan masing-masing.
Peran media massa selayaknya dapat menjadi alat untuk membangun perilaku masyarakat agar kembali berpikir untuk kepentingan bangsa Indonesia. Media massa tidak hanya untuk kepentingan industri pers yang hanya mengejar rating namun perlu dipikirkan bagaimana menghasilkan tayangan, siaran dan wacana-wacana yang membentuk manusia Indonesia dengan memenfaatkan kebebasan pers pasca reformasi mengingat media massa menjadi salah satu alat pembentuk opini yang efektif (Hatmodjo: 2004).
Pemerintah diharapkan memperbesar peranan dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Pemerintah sekarang berbangga, bahwa pembangunan sekarang mengalami pertumbuhan, padahal masih jauh dari pemerataan (Rahmat T. Sulaiman: 2008). Seharusnya pemerintah meningkatkan kemajuan ekonomi yang tidak berorientasi pertumbuhan tetapi pemerataan sehingga akan dicapai kemakmuran bersama tanpa ada kecemburuan social. Salah satu cara untuk mencapai pemerataan adalah dengan membangun kutub-kutub pertumbuhan baru yang diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi daerah-daerah sekitar. Pembangunan kembali sector pertanian yang selama ini terlupakan dapat digunakan untuk membangun kutub-kutub pertumbuhan baru yang berbasis pertanian yang hasilnya dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan.
Kebijakan pemilihan langsung seharusnya dapat dievaluasi ulang karena dampaknya justru meningkatkan potensi konflik antar warga, termasuk wacana calon independen yang mempunyai potensi konflik lebih besar. Disisi lain, sistem pemilihan dengan calon independen memandulkan fungsi partai politik sebagai alat untuk rekrutmen politik dan penyalur aspirasi masyarakat sehingga dalam jangka panjang masyarakat menjadi enggan berdemokrasi karena partai politik gagal menyalurkan gagasan-gagasan membangun bagi pemerintahan.
Pancasila sebagai dasar sekaligus ideologi negara seharusnya dapat dijadikan alat pemersatu guna mencapai tujuan bangsa. Pancasila dalam sejarahnya menjadi satu-satunya ideologi pengakomodasi keragaman latar belakang bangsa Indonesia seperti Islamisme, sosialisme, dan nasionalisme. Ketuhanan yang Maha Esa mengadung arti bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beriman pada Tuhan yang Maha Esa (religious), walaupun dahulu rancangan sila pertama Pancasila berbunyi “Pelaksanaan Syariat Islam bagi Para Pemeluknya” namun diganti untuk mengatasi keberagaman kepercayaan bangsa Indonesia; Kemanusian yang Adil dan Beradab menegaskan derajat bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, Persatuan Indonesia berarti bangsa Indonesia sebagai sebuah kesatuan kebangsaan (natie), Kerakyatan yang Dipimpin oleh Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan yaitu dalam bangsa Indonesia memegang teguh nilai-nilai kemasyarakatan-kekeluargaan (social) dalam menghadapai persoalan kebangsaan dengan tujuan mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sebagai bangsa yang hampir 62 tahun merdeka, serta dengan semangat satu abad kebangkitan nasional sepatutnya memantapkan hati untuk mengevaluasi diri tanpa penyesalan berlebihan untuk membuka lembaran baru, berhijrah meninggalkan warisan budaya kolonial yaitu berkonflik dengan saudara sebangsa-setanah air. Menurut Bung Karno (1948) kerjasama elemen-elemen progresif revolusioner (Sammen bundeling van alle revolutionare krachten) sebagai alat untuk menuju Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sekaligus ikrar bangsa Indonesia dalam berhijrah demi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih baik. Tentu untuk mewujudkan kemajuan bangsa tidak hanya dengan ikrar atau janji semata namun diperlukan konsekuensi dan kedisiplinan dalam tindakan agar rencana yang telah dibuat dapat terwujud.

Tidak ada komentar: