Senin, 09 Juni 2008

Penyerbuan FPI: Cermin Kelemahan Pemerintah

Penyerbuan FPI: Cermin Kelemahan Pemerintah
Peristiwa penyerbuan Front Pembela Islam pada hari Minggu, 1 Juni 2008 di silang monas harus mendapat perhatian besar dari pemerintah karena menyangkut disintegrasi bangsa. Penyerangan Front Penyembah Iblis (plesetan dari Front Pembela Islam) terhadap Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan beragama merupakan sebuah reaksi atas ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap eksistensi kelompok Ahmadiah yang dinilai sebagai aliran sesat oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Sebelum isu kenaikan BBM merebak di masyarakat, pemerintah berjanji akan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang berisi penentuan nasib sekte Ahmadiah; apakah dinyatakan sebagai aliran islam yang sesat, atau tidak sehingga kalangan umat Islam menjadi ragu. Namun, sampai selang sebulan pasca rencana pengumuman surat SKB, pemerintah melalui Mendagri yang waktu itu menjanjikan dalam tempo satu minggu akan menerbitkan SKB pun tak kunjung terealisasi bahkan hingga sekarang; akibatnya komunitas muslim merasa dibongi oleh pemerintah. Sikap pemerintah yang demikian tentu bukan sekali atau dua kali dilakukan, akan tetapi berkali-kali hingga membuat pihak-pihak yang sangat butuh kejelasan sikap pemerintah merasa digantung nasibnya. Situasi ketidakjelasan demikian yang membuat kelompok-kelompok terutama kelompok garis keras mengambil tindakan sendiri yang justru semakin memperuncing masalah dan memperkeruh situasi hingga membuat keadaan menjadi chaos, dalam hal ini Front Penjelek Islam (FPI) pimpinan Riziq Shihab.
Akibat yang ditimbulkan dari peristiwa Monas 1 Juni 2008 membuat umat Islam Indonesia yang merupakan bagian dari warga muslim dunia menjadi semakin buruk citranya sebagai kelompok yang suka kekerasan bukan kelompok yang cinta damai sebagaimana menurut Al Quran dan Hadis Rasulullah SAW sebagai anugrah bagi alam semesta atau Rahmatan lil Alamin atau dalam kata lain, kampanye barat untuk mendiskreditkan umat islam adalah golongan yang cinta perang semakin berhasil. Namun, selain untuk mendiskreditkan umat islam, bangsa barat seakan seperti melakukan dua hal sekaligus dengan sekali tindakan. Pertama jelas menjadikan imej umat Islam semakin buruk dan kedua berhasil mengadu domba antar dua kelompok Islam di Indonesia, antara Islam garis keras yaitu FPI dan Islam tradisional yang diwakili kelompok Nadhliyin (NU) pimpinan mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid sebagaimana tersiar dalam berita di ANTV tanggal 3 Juni 2008 pukul 22.30 yang menyatakan bahwa seluruh elemen Nadhliyin seperti Banser, Garda Bangsa, PMII dan organisasi under bow NU lainya bersiap menghadapi FPI dan pernyataan bernada perang juga disampikan ketua FPI Riziq Shihab akan melakukan jihad fisabilillah melawan kelompok-kelompok penentang FPI dalam hal ini NU.
Untuk mengatasi konflik yang lebih hebat, seharusnya pemerintah segera mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam meredam pertentangan yang semakin besar. Pertama, segera menerbitkan SKB tentang Ahmadiah yang dirasa menjadi akar persoalan, Sikap pemerintah terhadap Ahmadiah dituding sebagai pokok permasalahan yang membuat sebagian umat Islam merasa pemerintah tidak tegas dalam melindungi aqidah atau kepercayaan umat Islam yang sebagian besar menilai bahwa Ahmadiah adalah sesat dan tentu disertai penjelasan-penjelasan dengan pendekatan teologis yang humanis mengapa Ahmadiah dinyatakan murtad karena menyangkut aspirasi kelompok agama tertentu (Islam).
Kedua, cari keterangan sejelas-jelasnya bagaimana konspirasi politik yang sesungguhnya terjadi untuk mengambi tindakan efektif dalam mencegah konflik horizontal. Tanpa gambaran jelas mengenai konstelasi politik yang sebenarnya, tidak mungkin pemerintah dapat melakukan tindakan efektif. Untuk mendapatkan informasi bagaimana konspirasi sebenarnya, komunitas intelijen di Indonesia yang terdiri dari BIN, BAIS, Bantelkam Polri, Intelijen Kejaksaan maupun potensi kekuatan intelijen lain dalam berbagai elemen masyarakat Indonesia yang masih memiliki wawasan kebangsaan seharusnya dapat dimaksimalkan fungsinya terutama dalam hal counter-espionage sebagaimana terdapat dalam doktrin pertahanan Indonesia yaitu pertahanan rakyat semesta (Hanrata). Alasan peningkatan penggunaan kekuatan intelijen adalah adanya gejala bahwa FPI maupun kelompok-kelompok lain yang menyatakan sebagai kelompok jihad Islam sering melakukan aksi anarkis selama lebih dari lima tahun terakhir misalnya pada beberapa bulan lalu melakukan penganiayaan warga yang sedang berkumpul pada suatu perkampungan di Surakarta karena dikira sedang pesta minuman keras walupun akhirnya tidak terbukti sedang pesta miras untuk mencegah aksi anarkis berikutnya. Argumen kedua adalah sebagian besar pengurus laskar-laskar jihad yang sering melakukan aksi anarkis tersebut seperti FPI pimpinan Riziq Shihab, yang notabene satu “Genre” pernah mendapat pelatihan militer untuk dijadikan mujahidin di Afghanistan untuk menghadapi pasukan merah komunis Uni Soviet yang tentunya dilatih oleh agen-agen CIA dan MI-6 sehingga kemungkinan masih ada hubungan dengan kedua organisasi mata-mata internasional tersebut misalnya Abu Bakar Baasyir serta Riziq Shihab pernah dijadikan sukarelawan dalam konflik Ambon akhir dekade 90-an. Fakta-fakta yang merupakan jawaban hipotesis di atas lalu ditarik kesimpulan siapa dalang di balik kelompok-kelompok Islam garis keras, apa tujuanya, dari mana mereka mendapat dana, bagaimana system rekrutmennya, siapa saja sasaran rekrutmenya, kapan mereka akan beraksi dan kelompok mana sasaran mereka berikutnya akan terjawab, selanjutnya pemerintah dapat mengambil tindakan yang seharusnya.
Setelah semua fakta tentang gerakan-gerakan ekstrim kanan tersebut terjawab, giliran aparat negara dalam hal ini kepolisian harus bertindak layaknya pelindung masyarakat dalam rangka memberikan rasa aman dan kepastian hukum. Namun, kenyataanya tidak demikian, polisi tidak dapat mengambil tindakan tegas sehingga menyulut argument spekulatif bahwa polisi melindungi FPI, demikian yang dinyatakan mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid dalam menanggapi pernyataan Kapolri. Apakah karena polisi belum menemukan fakta-fakta yang benar-benar dapat dijadikan dasar hukum polisi dalam bertindak? Atau Soetanto mempunyai pertimbangan lain dalam kapasitasnya sebagai pimpinan tertinggi institusi kepolisian di Indonesia? Beliau yang dapat menjawab dengan tindakan tegas contohnya pembubaran FPI, namun jangan sampai memberikan kesan bahwa pemerintah lamban dalam menyelesaikan konflik antar masyarakat sebagai hal prioritas daripada menangkapi buruh, sopir angkot, atau mahasiswa yang melakukan unjuk rasa karena kenaikan harga BBM sebagai sebab kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dengan cara memprovokasi seperti kasus UNAS dengan isu granat tangan dan menaruh Molotov cocktail. Ingat, persatuan adalah segalanya dan Indonesia merdeka karena persatuan!

Tidak ada komentar: